bg top image

Bagaimana masyarakat memahami demokrasi dan ruang sipil di Indonesia

Penelitian kualitatif (FGD, Q-method, X/Twitter content analysis) dan kuantitatif (survei nasional) untuk memahami bagaimana masyarakat umum memaknai demokrasi dan ruang sipil.

Kemunduran demokrasi mengantarkan Indonesia ke ambang otoritarian kompetitif (Jaffrey & and Warburton, 2024). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kemunduran demokrasi terjadi karena erosi dari para elit. Namun, beberapa penelitian lain mengungkapkan regresi terjadi juga karena pembiaran publik.

Kemunduran demokrasi dapat ditahan jika ada dukungan yang lebih kuat dari masyarakat. Untuk mendapatkan dukungan publik, kita perlu “memasarkan” ide dan norma-norma demokrasi. Meskipun upaya ini bukanlah hal baru, pelaksanaannya tidak mudah, mempertimbangkan betapa kuatnya ide “negara integralistik” (lihat di sini) dan fakta bahwa masyarakat Indonesia memiliki pandangan yang konservatif (lihat di sini).

Terlebih lagi, temuan Ananda dan Bol (2021) menunjukkan responden yang berasal dari tingkat sosio-ekonomi rendah justru menurunkan dukungan dan kepuasan mereka terhadap sistem demokrasi setelah terpapar definisi demokrasi menurut Dahl.

Oleh karena itu, kami menyelidiki secara lebih sistematis tentang makna demokrasi dan ruang sipil bagi rakyat awam. Apa yang sesungguhnya mereka dukung ketika mereka mengaku mendukung demokrasi?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami melakukan serangkaian pengumpulan data. Kami menggunakan beberapa metode penelitian:

  • Q-Methodology, dilaksanakan di Gunung Kidul, Bogor, dan Lampung Tengah (19–27 Agustus 2024), untuk memahami cara masyarakat memaknai demokrasi dan ruang sipil dengan meminta responden memeringkat 44 pernyataan (berdasarkan definisi demokrasi dari EIU).
  • Diskusi kelompok terpumpun (Focus Group Discussions/FGD), dilaksanakan di lokasi yang sama dengan Q-Methodology untuk memperdalam temuan Q-Methodology.
  • Analisis kuantitatif percakapan media sosial X/Twitter (quantitative content analysis), untuk memantau percakapan di media sosial tentang hubungan negara–masyarakat, kebebasan sipil, dan peran organisasi masyarakat sipil (CSO).
  • Survei Nasional, berupa wawancara tatap muka melibatkan 2.520 responden usia 18 tahun ke atas di 51 kabupaten/kota. Kami memanfaatkan temuan dari studi eksplorasi kualitatif untuk menyusun butir-butir pertanyaan dalam survei nasional.

Hasil temuan riset ini dapat menjadi rujukan bagi siapa pun yang ingin merancang pesan tentang demokrasi dan ruang sipil. 

Temuan utama

Beberapa temuan dari FGD dan Q-Method

  • Sebagian responden Indonesia mengutamakan stabilitas, ketertiban, dan kepatuhan terhadap struktur sosial yang ada.
  • Sebagian responden memandang pemerintah sebagai elemen pengatur yang harus ditaati demi tercapainya stabilitas dan keamanan.
  • Sebagian responden menilai kebebasan dalam demokrasi perlu ada batasnya demi menjaga ketertiban dan keharmonisan.
  • Di tengah keterbatasan penegakan keadilan dan kekhawatiran risiko, responden percaya media sosial dan demonstrasi menjadi sarana bagi warga untuk menyuarakan aspirasi.
  • Minimnya pengetahuan masyarakat tentang organisasi masyarakat sipil dan persepsi negatif yang dominan terhadap oknum-oknum ormas dan LSM menghambat masyarakat untuk menyampaikan aspirasi melalui jalur ini.

Top 10 tema yang muncul dalam FGD:

Beberapa temuan utama dari analisis konten X/Twitter:

  • Ada pandangan yang setuju dengan pentingnya kesetaraan hak dan perlakuan bagi semua warga, kebebasan berekspresi dan berserikat, kesetaraan gender dalam politik, serta sikap toleran. Namun, warga menilai kondisi ideal ini belum sepenuhnya terwujud. Sebagian merasa pemerintah sering mengabaikan aspirasi rakyat, terutama di akar rumput.
  • Diskursus publik, khususnya di platform X, lebih banyak membicarakan figur politik daripada isu kebijakan atau ideologi. Hal ini menegaskan temuan literatur sebelumnya bahwa warga lebih fokus pada tokoh pemimpin dibanding ideologi atau program, menunjukkan ciri demokrasi personalistik.
  • Mahasiswa —dengan dukungan akademisi— sering dianggap sebagai motor penggerak aksi protes.

Beberapa temuan utama dari survei nasional:

  • Masyarakat Indonesia benar ingin tinggal di negara yang menurut mereka demokratis. Namun apa yang publik anggap ciri negara demokratis beda dengan kriteria akademisi dan aktivis.

    • Publik menilai demokratis-tidaknya sebuah negara dalam 6 dimensi yang tidak semuanya sejalan dengan prinsip demokrasi liberal:
      • Concentration of power: Demokratis jika kekuasaan pemerintah terpusat tanpa adanya lembaga penyeimbang
  • Civic freedom: Demokratis jika warga bebas menyampaikan pendapat dan berasosiasi selama tetap tertib
    • Family state: Demokratis jika peran pemerintah dianggap sebagai “kepala keluarga” yang paling tahu apa yang terbaik 
    • Majoritarian rule:  Demokratis jika kelompok minoritas (selain kelompok LGBTQ) sebaiknya mengikuti kehendak mayoritas
    • Anti-LGBTQ: Demokratis jika hak-hak LGBTQ sebaiknya tidak dilindungi
    • Free and fair election: Demokratis jika pemilu diselenggarakan tanpa campur tangan pemerintah

 

Rerata skor dimensi demokrasi
(Skor berkisar antara 1 hingga 6. Semakin tinggi skor, responden semakin cenderung meyakini bahwa pernyataan-pernyataan dalam dimensi tersebut merupakan ciri-ciri negara demokratis)

  • Populasi Indonesia mempunyai pondasi moral yang konsisten dengan pandangan konservatisme. Pondasi moral diadaptasi dari instrumen Moral Foundation Questionnaire versi 2 yang disusun oleh Atari et al., (2023), terdiri dari enam dimensi:
    • Kasih (Care): Intuisi tentang menghindari menyakiti emosi dan fisik individu lain
    • Kesetaraan (Equality): Intuisi tentang perlakuan dan hasil (outcome) yang sama untuk setiap individu
    • Proporsionalitas (Proportionality): Intuisi tentang individu yang mendapat imbalan yang sebanding dengan usaha atau kontribusinya
    • Loyalitas (Loyalty): Intuisi tentang kesetiaan dengan kelompok dalam (ingroup) dan bersaing dengan kelompok luar (outgroup)
    • Otoritas (Authority): Intuisi tentang penghormatan terhadap otoritas yang sah dan mempertahankan tradisi, yang semuanya dipandang dapat memberikan stabilitas dan menangkis kekacauan
    • Kesucian (Purity): Intuisi tentang menghindari nista dan degradasi jasmani dan rohani

 

Rerata skor pondasi moral

(Skor berkisar antara 1 hingga 5)

  • Tidak ada segmen populasi yang liberal secara sosial, ataupun yang demokratis sepenuhnya. Ada tiga segmen populasi Indonesia yang kami identifikasi berdasarkan cara mereka memaknai demokrasi dan fondasi moral. Melalui teknik K-means cluster analysis, muncullah tiga segmen: Konservatif Otoritarian (32%), Konservatif Quasi-Demokrat (27.9%), Apatis Moral Otoritarian (40.1%).

Tabel & grafik

Tabel dan grafik hasil penelitian ini akan tersedia pada pembaruan situs selanjutnya.

Kutip artikel ini

Jika ingin mengutip artikel, silahkan gunakan kutipan dibawah ini:

Bahana (2025) - “Bagaimana masyarakat memahami demokrasi dan ruang sipil di Indonesia” Published online at https://labnarasi.id. Retrieved from: https://labnarasi.id/topik/bagaimana-masyarakat-memahami-demokrasi-dan-ruang-sipil-di-indonesia-2/ [Online Resource]
BibTeX citation
@article{bagaimana-masyarakat-memahami-demokrasi-dan-ruang-sipil-di-indonesia-2,. author = {Bahana},. title = {Bagaimana masyarakat memahami demokrasi dan ruang sipil di Indonesia},. journal = {Demokrasi},. year = {2025},. note = {https://labnarasi.id/topik/bagaimana-masyarakat-memahami-demokrasi-dan-ruang-sipil-di-indonesia-2/}.}