bg top image

Pemahaman masyarakat Indonesia tentang electoral threshold

Penelitian kuantitatif melalui survei opini publik untuk memahami persepsi masyarakat Indonesia terhadap aturan ambang batas pencalonan kandidat presiden dalam pemilu (electoral threshold)

Penelitian ini dilakukan oleh Communication for Change (C4C) bersama Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat Indonesia terhadap aturan ambang batas pencalonan kandidat presiden, yang dikenal juga sebagai electoral threshold.

Aturan tersebut menetapkan bahwa partai politik atau gabungan partai hanya bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden jika mereka memiliki minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional dalam pemilu legislatif sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk memahami seberapa banyak masyarakat yang mengetahui aturan tersebut beserta sentimen mereka.

Survei opini publik dilakukan secara daring pada November 2021 dengan melibatkan 502 responden. Data dikumpulkan melalui Google Surveys dengan metode convenience sampling. Sampel disesuaikan dengan proporsi populasi pengguna internet berusia 18 ke atas di Indonesia. Karena topik politik dianggap sensitif, hampir semua pertanyaan menyertakan opsi “tidak mau menjawab”, sesuai dengan kebijakan Google Surveys.

Walaupun aturan ambang batas pencalonan kandidat presiden sudah tidak lagi berlaku sejak Januari 2025, hasil penelitian ini diharapkan tetap berguna bagi masyarakat sipil. Temuan ini bisa menjadi bahan pertimbangan untuk mendorong diskusi publik, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memperjuangkan sistem pemilu yang lebih terbuka dan adil di masa depan.

Temuan utama

  • Lebih dari setengah  (56%) responden berhasil menjawab dengan benar pernyataan tentang aturan ambang batas pencalonan presiden. Namun, angka ini bisa jadi mencakup mereka yang memang mengetahui jawabannya dan yang hanya menebak dengan tepat.
  • Meskipun banyak yang menjawab benar, sebagian besar  (52%) responden justru berpendapat bahwa semakin sedikit jumlah kandidat presiden dan wakil presiden, semakin baik bagi rakyat. Artinya, banyak responden belum melihat aturan ambang batas pencalonan presiden sebagai sesuatu yang negatif.

Persepsi responden terhadap pernyataan ‘semakin sedikit jumlah kandidat, maka semakin baik’:

  • Sebanyak 56% responden setuju bahwa aturan ambang batas pencalonan presiden yang ketat dapat menghambat seseorang untuk maju sebagai kandidat. Sementara itu, 16% responden tidak setuju, dan 28% memilih untuk tidak menjawab.
  • Lebih dari setengah (55%) responden percaya bahwa aturan tersebut mengurangi peluang mendapatkan kandidat yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat dibandingkan segelintir elit. Temuan ini menunjukkan bahwa masyarakat sebenarnya dapat diajak melihat sisi negatif dari aturan ambang batas, terutama jika disampaikan melalui narasi yang menekankan kepentingan rakyat.

Persepsi responden tentang aturan ambang batas pencalonan presiden menghasilkan kandidat yang tidak mendahulukan kepentingan rakyat banyak:

  • Kurang dari sepertiga (30%) responden merasa marah dengan pernyataan “pemilih dibiarkan sulit mendapatkan kandidat yang baik”. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar responden belum melihat kondisi tersebut sebagai bentuk ketidakadilan atau pelanggaran moral.
  • Lebih dari setengah (54%) responden setuju bahwa jika para pemilih bersatu menyuarakan perubahan aturan ambang batas pencalonan presiden, maka peluang munculnya calon pemimpin yang baik akan lebih besar.
  • Sayangnya, hampir setengah (43%)  responden merasa keberatan jika dianggap sebagai bagian dari kelompok yang menuntut perubahan. Responden yang tidak mau menjawab pun cukup banyak, yaitu lebih dari sepertiga (39%). Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden masih enggan mengidentifikasi diri sebagai pendorong perubahan.

Perasaan responden terhadap pernyataan “pemilih memang dibiarkan sulit mendapatkan capres yang baik”:

Tabel & grafik

Jelajahi hasil survei opini publik kami di bawah ini!

*Grafik berikut menampilkan data mentah (raw data), sedangkan temuan utama telah disesuaikan (weighted) agar mencerminkan proporsi populasi nasional berdasarkan jenis kelamin dan kelompok usia. Oleh karena itu, angka dalam temuan utama dapat berbeda dari yang ditampilkan pada grafik

Penerbit
Bahana
Jumlah sampel (N)
502
Rentang usia sample
Usia 18 hingga 33 tahun
Tahun
4 – 12 November 2021
Metode sampling
Convenience sampling
Metode
Survei berbasis situs secara daring menggunakan Google Surveys

Kutip artikel ini

Jika ingin mengutip artikel, silahkan gunakan kutipan dibawah ini:

Bahana (2025) - “Pemahaman masyarakat Indonesia tentang electoral threshold” Published online at https://labnarasi.id. Retrieved from: https://labnarasi.id/topik/pemahaman-masyarakat-indonesia-tentang-electoral-threshold/ [Online Resource]
BibTeX citation
@article{pemahaman-masyarakat-indonesia-tentang-electoral-threshold,. author = {Bahana},. title = {Pemahaman masyarakat Indonesia tentang electoral threshold},. journal = {Demokrasi},. year = {2025},. note = {https://labnarasi.id/topik/pemahaman-masyarakat-indonesia-tentang-electoral-threshold/}.}