bg top image

Perubahan iklim dalam pikiran masyarakat Indonesia

Penelitian kuantitatif (survei nasional) berdasarkan pemahaman tentang perubahan iklim, worldview, dan kecenderungan ikut aksi kolektif.

Penelitian ini dilaksanakan oleh Communication for Change (C4C) bersama dengan Yale Program on Climate Communication, dan Kantar Indonesia sebagai pengumpul data.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengukur tingkat pemahaman masyarakat Indonesia tentang “perubahan iklim” dan “pemanasan global,” dan keinginan mereka untuk berpartisipasi dalam aksi kolektif guna memitigasi kerusakan lingkungan.

Metodologi yang digunakan adalah metode campuran (mixed-methods), yang menggabungkan pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif.  Di awal, kami menyelenggarakan 28 diskusi kelompok terpumpun (Focus Group Discussion atau FGD) di 4 kota untuk mendapatkan gambaran awal mengenai pengetahuan responden tentang perubahan iklim. Hasil dari FGD kami gunakan sebagai dasar penyusunan kuesioner untuk tahap selanjutnya, yaitu survei nasional.

Survei yang dijalankan oleh Kantar pada Juni-Juli 2021 ini melibatkan 3.490 pria dan wanita berusia 16 tahun ke atas di 34 provinsi. Dari total responden, 2.990 merupakan responden utama, sedangkan 500 lainnya merupakan responden booster dari Riau dan Kalimantan Barat. Pengumpulan data menggunakan metode multistage random sampling, dengan titik sampel (kecamatan) yang dipilih secara acak menggunakan metode Probability Proportional to Size (PPS). Pemilihan acak lebih lanjut dilakukan untuk desa, Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT), rumah tangga, dan akhirnya, satu responden dipilih secara acak dari rumah tangga yang terpilih. Menggunakan metode K-Means Cluster Analysis, kami mengelompokkan responden ke dalam lima segmen berdasarkan pemahaman mereka tentang perubahan iklim, motivasi untuk aksi kolektif, dan “pandangan hidup” (worldview) mereka berdasarkan cara mereka menilai benar-salahnya sebuah tindakan (fondasi moral).

Tahap selanjutnya bertujuan memahami efektivitas pesan yang menjelaskan perubahan iklim lewat analogi “selimut polusi yang membuat bumi terlalu panas” melalui FGD yang dilakukan dari Juli hingga Agustus 2022. Tahap terakhir ini melibatkan 56 responden (berusia 19–55 tahun) dari tujuh area berbeda, memastikan representasi yang seimbang di seluruh demografi dan tiga segmen populasi terbesar yang diidentifikasi dalam survei awal. Hasil temuan utama pada tahap ini belum tersedia untuk publik dan akan dirilis di pembaruan situs selanjutnya.

Penelitian ini menyediakan data penting mengenai pemahaman publik tentang perubahan iklim dan keinginan untuk ikut aksi kolektif menuntut kebijakan dan praktik yang memitigasi dampaknya., Selain itu, temuan penelitian menyoroti bahwa pandangan konservatif yang dominan pada mayoritas populasi harus diperhatikan dalam komunikasi terkait iklim. Temuan ini akan sangat bermanfaat bagi elemen masyarakat sipil yang berkampanye perubahan opini maupun perilaku terkait perubahan iklim. Lebih lanjut, masyarakat sipil dapat menggunakan narasi yang dihasilkan untuk berkomunikasi dengan pembuat kebijakan dan menggalang dukungan publik untuk memengaruhi analisis biaya-manfaat politik para pembuat kebijakan.

Temuan utama

  • Sebagian besar masyarakat pernah mendengar tentang perubahan iklim, tetapi tidak memahaminya dengan benar. Dari 88% responden yang menjawab “cukup tahu” tentang perubahan iklim, hanya 44% yang memiliki pengertian yang benar tentang definisi perubahan iklim. 
  • Semua responden selanjutnya dipaparkan ke definisi singkat (“suhu rata-rata dunia telah meningkat selama 150 tahun terakhir, akan meningkat lebih lanjut di masa depan, dan bahwa iklim dunia akan berubah sebagai akibatnya”). Kemudian mereka ditanya apakah menurut mereka perubahan iklim sedang terjadi. Meskipun 30% menjawab tidak tahu, 63% setuju perubahan iklim sedang terjadi. 
  • Dari yang menjawab bahwa perubahan iklim sudah terjadi, hanya 46% (atau 29% dari seluruh responden) yang menyatakan bahwa hal ini disebabkan terutama oleh aktivitas manusia.
  • 4 dari 5 responden mengaku cemas akan dampak buruk dari anomali-anomali yang bisa disebabkan perubahan iklim, tetapi hanya 1 dari 3 responden yang setuju bahwa perubahan iklim sudah terjadi sekarang.
  • Jumlah responden yang merasa bahwa perubahan iklim akan berdampak secara langsung pada dirinya sendiri atau kalangan sekitarnya lebih sedikit daripada yang menyebutkan pihak-pihak yang lebih berjarak seperti negara, flora dan fauna, atau generasi di masa depan sebagai yang terdampak oleh perubahan iklim.
  • Hanya 26% responden yang percaya manusia bisa dan akan mengurangi kerusakan lingkungan. Kebanyakan kurang optimistis karena masih belum jelas apa yang harus dilakukan (31%), atau percaya bahwa orang-orang tidak punya kemauan untuk mengubah perilaku (juga 31%). 
    • Terlepas dari kurang optimisnya responden tentang kemampuan manusia mengurangi dampak kerusakan lingkungan yang disebabkan manusia sendiri, sebagian besar percaya bahwa warga Indonesia (72%) dan pemerintah (76%) bisa bekerja sama mengurangi kerusakan lingkungan. 
    • Dalam keadaan mendesak, orang Indonesia mungkin yakin pemerintah akan bertindak tepat, dan masyarakat bisa saling bantu mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Pola ini biasa terjadi saat bencana alam dan terakhir terjadi pada masa pandemi COVID. 
  • 8 dari 10 orang merasa punya kewajiban untuk menjaga lingkungan dan mengaku punya nilai sama dengan mereka yang bekerja untuk menjaga lingkungan. Tetapi, 3 dari 10 orang merasa ragu atau enggan dianggap sebagai aktivis lingkungan.
  • Namun, ketika ditanya tentang pengalaman atau minat mereka sendiri untuk bertindak, hanya sedikit yang mengaku pernah atau berminat. Jumlah responden yang mengaku pernah berpartisipasi dalam aksi kolektif untuk membela lingkungan kurang dari 15%, dan kebanyakan hanya mengikuti kegiatan yang berisiko kecil seperti menyumbang ke OMS (18%) atau menyatakan pendapat di media sosial (17%). Meski demikian, cukup banyak (39%) yang mengaku berminat menjadi sukarelawan di organisasi lingkungan.
  • Kami menanyakan 20 pertanyaan tentang fondasi moral yang diadaptasi dari Haidt & Graham (2000). Hasil analisis menunjukkan bahwa 9 dari 10 orang Indonesia (93%-97%) memiliki “worldview” konservatif. 
  • Worldview konservatif adalah ketika orang lebih menghargai nilai-nilai seperti:
    • Patriotisme dan nasionalisme, kesetiaan pada in-group
    • Kepatuhan dan rasa hormat terhadap otoritas atau tradisi, hukum atau ketertiban, serta penerimaan atas hierarki
    • Kemurnian dan kesucian
    • Kesetimpalan (dan bukan persamaan)
    • Adaptasi (bukan revolusi) yang direstui figur otoritas

Tabel & grafik

Jelajahi hasil survei nasional kami di bawah ini!

*Grafik berikut menampilkan data mentah (raw data), sedangkan temuan utama telah disesuaikan (weighted) agar mencerminkan proporsi populasi nasional berdasarkan jenis kelamin, kelompok usia, dan wilayah domisili. Oleh karena itu, angka dalam temuan utama dapat berbeda dari yang ditampilkan pada grafik

Penerbit
Bahana
Jumlah sampel (N)
2.990
Rentang usia sample
Laki-laki/perempuan usia 16 tahun ke atas dari 34 provinsi
Tahun
Juni-Juli 2021
Metode sampling
Multi-stage random sampling
Metode
Wawancara tatap muka dengan bantuan CASI (Computer Aided Self Interviewing)

Kutip artikel ini

Jika ingin mengutip artikel, silahkan gunakan kutipan dibawah ini:

Bahana (2025) - “Perubahan iklim dalam pikiran masyarakat Indonesia” Published online at https://labnarasi.id. Retrieved from: https://labnarasi.id/topik/perubahan-iklim-dalam-pikiran-masyarakat-indonesia-2/ [Online Resource]
BibTeX citation
@article{perubahan-iklim-dalam-pikiran-masyarakat-indonesia-2,. author = {Bahana},. title = {Perubahan iklim dalam pikiran masyarakat Indonesia},. journal = {Perubahan iklim},. year = {2025},. note = {https://labnarasi.id/topik/perubahan-iklim-dalam-pikiran-masyarakat-indonesia-2/}.}